Archive for March 24, 2010

Istilah whistleblower atau ‘peniup peluit’ [jika diartikan secara terpaksa] sering terdengar di media akhir-akhir ini. Munculnya whistleblower sendiri seringkali terkait dengan, kalau tidak kasus korupsi, ya kasus pencemaran nama baik. Lalu sebenarnya apa itu whistleblower?

Whistleblowing adalah tindakan seseorang (pekerja/pegawai/karyawan) yang memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan internal atau eksternal tentang hal-hal ilegal dan tidak etis yang terjadi di lingkungan kerjanya. Sedangkan whistleblower adalah orang yang memutuskan untuk melaporkan hal-hal ilegal dan tidak etis yang terjadi di lingkungan kerjanya. Merriam Webster Dictionary merumuskan istilah whistleblower sebagai orang yang mengungkapkan sesuatu yang rahasia atau sesuatu yang melawan kaidah. Laman wikipedia.com juga menambahkan whistleblower kebanyakan adalah orang yang dalam organisasi yang sama (‘orang dalam’) yang melaporkan kesalahan rekannya dan/atau atasannya.

Seorang whistleblower wajib mendapat perlindungan hukum agar keberadaannya tidak terancam. Di Amerika Serikat hak-hak whistleblower dijamin dalam Federal Whistleblower Act of 2007 sedangkan di Inggris perlindungan hukum seorang whistlebower dijamin dalam Public Interest Disclosure Act 1998. Aturan tersebut menyediakan kerangka kerja perlindungan hukum bagi individu yang mengungkapkan informasi, sehingga dapat mengekspos masalah malpraktek atau fraud lainnya pada pihak luar.

Bagaimana dengan di Indonesia? Hingga tahun 2005, Indonesia belum secara khusus memiliki undang-undang perlindungan saksi. Di tahun 2002 aturan yang ada hanya ‘membonceng’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai tindak pidana korupsi. Perlindungan itu meliputi pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan dari kepolisian atau mengganti identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk melakukan perlindungan hukum. Baru kemudian di tahun 2006 undang-undang perlindungan saksi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-undang tersebut mengatur hak-hak para saksi dan korban sehingga keberadaan para ‘pahlawan’ ini tidak lagi terancam dan dijamin oleh hukum.

Di Indonesia, kisah para ‘pahlawan’ ini seringkali berakhir tragis. Majalah Tempo edisi 17 April 2005 mengisahkan penganiayaan terhadap Lendo Novo, staf ahli Menteri Negara  BUMN pada Kamis malam, 7 April 2005.  Lendo Novo diserang 10 orang tak dikenal yang diduga akan menghilangkan data-data korupsi yang sedang dibawanya. Selanjutnya Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat beberapa kasus pelapor dugaan korupsi (whistleblower) yang kemudian diadukan mencemarkan nama baik (Republika, 16 Maret 2005). Beberapa kasus-kasus itu diantaranya:

a)      Arifin Wardiyanto melapor dugaan korupsi dalam urusan perizinan wartel di Yogyakarta tahun 1996. Ia kemudian diadukan mencemarkan nama baik. Pengadilan Negeri Yogyakarta menghukum dua bulan penjara. Pengadilan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan tidak bersalah dan bebas dari hukuman penjara. Namun Mahkamah Agung kemudian menghukumnya lagi dua bulan penjara. Kasus yang dilaporkannya tidak pernah diproses.

b)      Endin Wahyudi melaporkan suap yang dilakukannya pada tiga hakim dalam kasus sengketa tanah di Bandung pada tahun 2001, tentunya setelah mendapat jaminan perlindungan saksi. Namun hakim lainnya Marnis dan Supraptini menuduh Endin telah melakukan fitnah dan pencemaran nama baik. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menghukumnya tiga bulan penjara sedangkan hakim yang ia suap bebas karena Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Jakarta Pusat tempat ia melapor menolak dakwaan terhadap ketiga hakim tersebut.

c)      Frans Amanue melaporkan sejumlah kasus korupsi di Kabupaten Flores Timur yang melibatkan Bupati Felix Fernandez di tahun 2003. Ia diadukan mencemarkan nama baik oleh bupati itu. Pengadilan Negeri Larantuka kemudian menghukum Frans dengan hukuman penjara.

d)     Muchtar Lutfi melaporkan dugaan korupsi pengadaan kapal KMP Pulau Weh di tahun 2004 yang melibatkan Walikota Sabang, Sofyan Harun. Indikasi kerugian negara senilai Rp 8,6 miliar. Sofyan Harun melaporkan Muchtar Lutfi ke Polres Sabang dan polisi kemudian mengeluarkan surat penangkapan.

dan masih banyak lagi kasus lainnya.

Kasus whistleblower yang masih hangat dan ramai dibicarakan di media saat ini adalah kasus yang melibatkan ex-Kabareskrim Polri, Komjen Susno Duadji. Komjen Susno Duadji seperti diberitakan dalam Kompas, Senin 22 Maret 2010, membongkar nama jenderal dalam tubuh Polri yang diduga menjadi ‘markus’ atau makelar kasus. Bahkan Komjen Susno Duadji sempat sebut ‘merek’ siapa jenderal yang terlibat tersebut. Tak ayal berita ini membuat petinggi di Polri seperti kebakaran jenggot. Susno segera dipanggil Propam Polri untuk dimintai keterangan dan pihak Polri mengklarifikasi pada pers. Jenderal yang disebut inisialnya oleh Susno pun tak tinggal diam. Segera dua jenderal yang disebut Susno itu melaporkan kasus pencemaran nama baik. Akhirnya pada Rabu, 24 Maret 2010 Komjen Susno Duadji resmi jadi tersangka. Seperti dilansir dalam detikNews, Susno disangka telah melanggar pasal 310 dan 311 KUHP mengenai pencemaran nama baik dan penghinaan.

sang 'pahlawan' yang bernasib sama dengan whistleblower lain di Indonesia

sang 'pahlawan' yang bernasib sama dengan whistleblower lain di Indonesia

Padahal, terdapat dua aturan hukum yaitu Surat Edaran Kapolri tahun 2005 dan Pasal 310 KUHP yang menjelaskan apabila ada kasus korupsi dan timbul pihak lain yang merasa nama baiknya dicemarkan, maka Polri harus mengutamakan penyelesaian korupsi terlebih dahulu. Kita tahu bersama, kasus ‘markus’ senilai 25 M yang diungkap oleh Susno belum sama sekali diusut, pun belum ada seminggu kasus tersebut mencuat. So, kenapa ‘pahlawan’ whistleblower kita Komjen Susno Duadji tetap dijadikan tersangka? Apakah ada skenario besar dibalik itu? Atau ini hanya upaya Polri untuk menutupi kasus markus yang ada di tubuh Polri? *tanya ken napa??*

Begitulah nasib whistleblower di Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pun tak mempan melindungi para ‘pahlawan’ itu. Whistleblowers, nasibmu dari dulu hingga kini 😦

Sumber: Tuanakotta, Theodorus M. 2007. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI; wikipedia.com; merriam-webster.com

wisata baru, serang, 24 Maret 2010, 22.31