Exploring Banten: Bandelnya Sang Anak Krakatau | 1 dari 3

Posted: October 21, 2011 in My Adventure

#Hari 1     Carita – Anak Krakatau – Pulau Panjang

Seperti kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, sifat anak tidak jauh dari orangtuanya. Mungkin pepatah itu juga berlaku pada Anak Krakatau, sebuah gunung volcano aktif di perbatasan Jawa-Sumatra, Indonesia.

Krakatau, saya yakin semua orang sudah mafhum dengan nama itu. Laman wikipedia.org menjelaskan Krakatau, atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan Krakatoa, adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatra. Nama Krakatau pernah disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana (Gunung Krakatau) yang sirna karena letusannya sendiri pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Letusan itu sangat dahsyat; awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai sebelum tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia. Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

Anak Krakatau Pertengahan 2008

Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Sifat Anak Krakatau pun diprediksikan tak jauh dari pendahulunya, Gunung Krakatau, besar dan mematikan. Kecepatan pertumbuhan tinggi Anak Krakatau sekitar 20 inci per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Penyebab tingginya gunung itu karena adanya material geologis yang keluar dari perut gunung. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai hingga 250 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut ketika meletus.

Oke, sudah cukup pelajaran geografinya. Seperti judul di atas, saya dan beberapa teman kantor yang sevisi merencanakan suatu program adventure yang bertajuk “exploring Banten”. Kegiatannya mengupas tuntas semua obyek wisata alam, bahari, sejarah maupun kuliner di Banten dan mengemas semuanya dalam sebuah petualangan yang seru. Kalau boleh jujur saya sebenarnya terinspirasi iklan Djarum Super yang ber-tagline My Great Adventure Indonesia, pasti semua sudah tahu.

Subuh, Kamis 2 Juni 2011, pukul 04.30 WIB, saya dan berenam tim Exploring Banten berangkat dari kantor di sekitaran Palima, Serang menuju pantai Carita untuk bersiap menyaksikan keanggunan dan kemegahan the great volcano, Anak Krakatau. Sesuai rencana awal, perjalanan kami dilakukan selama tiga hari Kamis – Jumat – Sabtu dengan tujuan Krakatau – Pulau Peucang – Ujung Kulon. Kami dijemput oleh Pak Edi, tour guide sekaligus EO kami, menggunakan Suzuki APV miliknya. Saya duduk di depan, di tengah ada Echi, Ayu, dan Mbak Yanti, serta dibelakang Bowo, Mas Tom, dan Keke. Sejenak mampir di Masjid Agung, Pandeglang untuk sholat subuh, sekitar pukul 08.00 kami tiba di Carita. Boat ukuran sedang telah menunggu, lengkap dengan pengemudi dan dua ABK. Setelah briefingdan perkenalan dari Pak Edi dilanjut berdoa bersama, boat meluncur deras menuju Anak Krakatau.

Di depan masjid kuno, Carita -- Boat menuju Krakatau -- Nasi goreng sarapan

Perjalanan Carita-Anak Krakatau menghabiskan waktu sekitar 2 jam perjalanan laut. Di sana kita disuguhkan pemandangan laut luas, Selat Sunda. Pagi itu laut sangat tenang, hati saya pun menjadi tenang. Nasi goreng kotakan lengkap dengan ayam goreng dan telur ceplok menjadi menu sarapan pagi di atas boat. Oia, pengemudi boat kami sudah cukup berumur, ya mungkin sekitar 60 tahun, saya tak sempat menanyakan namanya. Namun, yang unik ternyata bapak pengemudi cukup gaul. Topi yang beliau pakai adalah topi surfer bermerk VOLCOM. Bertampang dingin namun sudah handal mengemudikan boat, begitulah ciri khasnya. Sementara salah satu ABK-nya, kalau tidak salah namanya Ade, beliau sangat ramah dan murah senyum, sepintas wajahnya mirip pelawak Boneng waktu masih muda.

Sang Nakhoda "Gaul" dan ABK-nya

Berbentuk pulau dengan sedikit vegetasi hijau dan ditengah-tengahnya menjulang the great volcano Anak Krakatau, kami telah sampai tujuan. Jam tangan saya menunjukkan pukul 10.00 WIB, sinar mentari pagi sangat sehat menyengat kulit. Pasir-pasir gunung yang hitam terhampar luas diseluruh daratan, pantai hingga gunungnya. Sementara Anak Krakatau berdiri dengan gagahnya angkuh menyapa. Pos penjagaan kecil dari Kementrian Kehutanan pengelola cagar alam Ujung Kulon lengkap dengan beberapa petugas pun terlihat di kaki Anak Krakatau. Begitu besar dedikasi mereka terhadap alam, salute. Berfoto sejenak di dekat pos jaga, kami kemudian mohon ijin pada petugas setempat untuk melakukan pendakian ke puncak Anak Krakatau.

Land of Child Krakatoa

Sebelum Mendaki Anak Krakatau

Kesan pertama saat mendaki adalah terlihat mudah dan jarak tempuhnya tak terlampau jauh. Namun tenyata bayangan saya salah. Trek yang menanjak cukup membuat pemula seperti saya kewalahan. Saya belum pernah naik gunung sebelumnya, selain Bromo dan Ijen. Ijen tak sampai puncak, sedangkan Bromo semua orang pun bisa menaklukannya. Tapi saya memaksakan demi Anak Krakatau yang eksotis. Detik demi detik berlalu, menit demi menit berlari, terengah-engah saya sampai setengah jalan dan saya tertinggal di belakang, sementara teman2 lain sudah beberapa meter di depan. Sebentar mengambil nafas sambil menangkap keindahan alam melalui kamera. Menatap ke atas puncak masih setengahnya, saya berbalik ke samping. Saya pun terkesima dengan pemandangan yang ada. Indahnya luar biasa. Tampak dari kejauhan gunung Rakata dan Pulau Panjang tertutup awan tipis, ciptaan Sang Maha Penguasa. Subhanallah..

Mendaki Gunung Lewati Lembah...

Sang Tetangga : Gunung Rakata dari Anak Krakatau

Meski lelah, kami lanjut mendaki. Lumayan sudah sampai tengah perjalanan. Bowo sudah memimpin di atas, disusul kemudian Keke. Nampaknya Bowo punya motivasi lebih untuk menaklukkan Krakatau karena tepat di belakangnya ada sibajupink. Sementara saya masih berjalan tergopoh dengan terengah, mbak Yanti sibuk dengan dSLR-nya. Mas Tom, Ayu, dan Echi masih asyik berfoto-foto. Pak Edi dan satu ABK kapal tadi masih berjalan dengan menenteng sandal. Dan kemudian hal yang tidak diinginkan terjadi. Anak Krakatau batuk.

Detik-detik "wedhus gembel" Anak Krakatau | Panah Merah itu Posisi saya

Terlihat dari puncaknya Anak Krakatau memuntahkan wedhus gembel. Asap itu berwarna abu-abu pekat dan tentunya panas, menjulur-julur keluar dari kaldera. Tak ada suara gemuruh maupun gempa vulkanik. Tak ada hujan apalagi petir. Kami panik dan jujur saya takut banget pada saat itu. Dengan kalap segera berlari turun. Pak Edi mengomandoi kami untuk segera turun. Dan ternyata turun lebih mudah daripada naik. Tak sampai lima menit sudah berada beberapa meter di bawah. Sesampainya di tempat yang agak aman kami berhenti dan kembali menatap ke puncak Anak Krakatau. Wedhus gembel sudah lenyap, digantikan dengan asap – seperti asap Honda CB jadul yang sedari tadi menguap. Tidak ada dari kami yang pernah mengalami pengalaman luar biasa ini. Sambil beristirahat di bawah pohon kami bertukar cerita. Mereka semua menertawakan saya karena lari paling depan. Maklum karena badan paling gede jadi secara grafitasi akan lebih memudahkan untuk menuruni gunung, alibi saya.

Puas beristirahat, kami melanjut turun gunung untuk pulang. Sesi selanjutnya adalah snorkeling di Legon Cabe, dekat Pulau Panjang, my favourite. Tak lupa berpamitan pada petugas kami segera naik kapal melanjutkan perjalanan. Menurut petugas di sana, kejadian wedhus gembel tadi adalah hal biasa dan tergolong letupan kecil karena tidak disertai gempa vulkanik dan pijaran lava. Ya, tapi tetap saja menyeramkan untuk orang awam seperti kami.

Anak Krakatau dari Sisi Lain

Sebelum snorkeling pak nakhoda “gaul” menyilakan kami untuk memutari Anak Krakatau dengan boat. Sungguh pemandangan dan petualangan yang indah. Dari hasil pengamatan saya, Anak Krakatau terbagi menjadi dua sisi. Sisi pertama sisi landai, aman juga hijau, cocok untuk melabuhkan kapal dan beristirahat di pepondokan petugas jaga. Sementara sisi belakang gunung adalah cadas dan tidak aman. Asap maupun luberan lava sering kali langsung melalui sisi ini. Tidak ada vegetasi tanaman yang tumbuh di sisi ini, cuma ada pasir dan batuan cadas. Saya sempat mendokumentasikan keliling Anak Krakatau dalam video HP. *sayang wordpress tidak mengijinkan saya untuk upload foto, baca: termasuk fasilitas berbayar*

Pulau Panjang dari kejauhan

Perjalanan ke Pulau Panjang, meskipun dekat cukup membuat hati berdebar. Bagaimana tidak, ketika boat kami menuju ke sana, laut sudah mulai tidak bersahabat. Ombak setinggi dua meter menemani perjalanan kami. Jadilah boat milik kami berkali-kali dihempaskan deburan ombak. Seru dan menantang. Cipratan air laut sebagian masuk ke kapal, basah. Saya tidak berani mengambil gambar karena takut kamera atau HP terkena air laut, pun dengan teman-teman lain. Akhirnya saya hanya bisa berdoa dan berserah pada Yang Maha Kuasa semoga perjalanan kami tidak menghadapi rintangan yang berarti.

Sesampainya di spot snorkeling Legon Cabe, ombak masih lumayan tinggi dan belum menunjukkan tanda-tanda mereda, masih sekitar 1,5 meter. Pak nakhoda “gaul” mengisyaratkan  bahwa ombak tersebut masih dalam batas wajar dan tidak berbahaya. Setelah menambatkan boat, Keke si petualang pertama mencebur ke laut, sementara saya dan yang lainnya masih pikir-pikir untuk snorkeling di ombak sebesar itu. Dan benar saja, Keke tidak bisa diam di satu posisi karena terus terseret ombak laut. Yang lainnya masih di kapal dan terserang wabah pusing dan mual-mual. Boat yang terombang ambing oleh ombak membuat kami semua mual mabuk laut. Akhirnya beberapa teman menceburkan dirinya ke laut, untuk sekadar menghindar dari wabah mual di atas boat. Karena kondisi semakin tidak nyaman, kami minta boat agar merapat di Pulau Panjang.

Salah satu Biawak sialan..

Pulau Panjang adalah pulau kosong tak berpenghuni. Berhutan dengan sedikit pantai. Kami makan siang di sana, menunya ayam goreng, menunya biasa sih tapi tempatnya yang luaarr biasa. Sebentar kami bersenda gurau sambil makan, tiba-tiba datang seekor biawak liar yang ukurannya cukup besar. Satu muncul, ternyata ada lagi, mungkin pacarnya atau TTM-nya. Tak seberapa lama muncul lagi yang lain, kali ini lebih kecil. Total ada enam biawak yang mendekati kami. Usut-punya-usut ternyata biawak tersebut keluar karena tertarik dengan aroma ayam goreng kami. Akhirnya ada beberapa potong ayam goreng yang harus direlakan demi menghibur biawak-biawak kelaparan itu.

Selesai makan dan istirahat, kami lanjut untuk meninggalkan Pulau Panjang menuju pantai Carita lagi untuk pulang. Rencananya kami akan menginap di desa Sumur, Pandeglang. Pak Edi tour guide sekaligus EO kami memiliki sebuah penginapan, Villa Sarang Badak namanya. Kami semua akan menginap di sana. Pak Edi sudah berpengalaman dalam hal ini, dan tamunya tidak hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri. Rencana untuk esok hari adalah menuju Pulau Peucang yang katanya mirip surga. Saya sudah tak sabar untuk melanjutkan cerita ini. (to be continued)

Perjalanan Carita-Anak Krakatau-Pulau Panjang berakhir di sini. Anak Krakatau yang bandel tapi gagah pesonanya sungguh membuat semua orang ingin kembali mendakinya. Selanjutnya kami menuju Pulau Peucang dan Ujung Kulon (UK).

artikel dan satu gambar diambil dari sini.

Palima, Serang, Jumat 21 Oktober 2011

Comments
  1. shavaat says:

    seru ya anak2 banten. klo di sumsel, jarang ada tempat wisata, ko. jadi ya, jarang ke mana2. tidak ada laut, pantai. banyakan sungai dan rawa2.

Leave a comment