Archive for the ‘My Adventure’ Category

#Hari 1     Carita – Anak Krakatau – Pulau Panjang

Seperti kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, sifat anak tidak jauh dari orangtuanya. Mungkin pepatah itu juga berlaku pada Anak Krakatau, sebuah gunung volcano aktif di perbatasan Jawa-Sumatra, Indonesia.

Krakatau, saya yakin semua orang sudah mafhum dengan nama itu. Laman wikipedia.org menjelaskan Krakatau, atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan Krakatoa, adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatra. Nama Krakatau pernah disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana (Gunung Krakatau) yang sirna karena letusannya sendiri pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Letusan itu sangat dahsyat; awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai sebelum tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia. Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

Anak Krakatau Pertengahan 2008

Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Sifat Anak Krakatau pun diprediksikan tak jauh dari pendahulunya, Gunung Krakatau, besar dan mematikan. Kecepatan pertumbuhan tinggi Anak Krakatau sekitar 20 inci per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Penyebab tingginya gunung itu karena adanya material geologis yang keluar dari perut gunung. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai hingga 250 meter di atas permukaan laut, sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut ketika meletus.

Oke, sudah cukup pelajaran geografinya. Seperti judul di atas, saya dan beberapa teman kantor yang sevisi merencanakan suatu program adventure yang bertajuk “exploring Banten”. Kegiatannya mengupas tuntas semua obyek wisata alam, bahari, sejarah maupun kuliner di Banten dan mengemas semuanya dalam sebuah petualangan yang seru. Kalau boleh jujur saya sebenarnya terinspirasi iklan Djarum Super yang ber-tagline My Great Adventure Indonesia, pasti semua sudah tahu.

Subuh, Kamis 2 Juni 2011, pukul 04.30 WIB, saya dan berenam tim Exploring Banten berangkat dari kantor di sekitaran Palima, Serang menuju pantai Carita untuk bersiap menyaksikan keanggunan dan kemegahan the great volcano, Anak Krakatau. Sesuai rencana awal, perjalanan kami dilakukan selama tiga hari Kamis – Jumat – Sabtu dengan tujuan Krakatau – Pulau Peucang – Ujung Kulon. Kami dijemput oleh Pak Edi, tour guide sekaligus EO kami, menggunakan Suzuki APV miliknya. Saya duduk di depan, di tengah ada Echi, Ayu, dan Mbak Yanti, serta dibelakang Bowo, Mas Tom, dan Keke. Sejenak mampir di Masjid Agung, Pandeglang untuk sholat subuh, sekitar pukul 08.00 kami tiba di Carita. Boat ukuran sedang telah menunggu, lengkap dengan pengemudi dan dua ABK. Setelah briefingdan perkenalan dari Pak Edi dilanjut berdoa bersama, boat meluncur deras menuju Anak Krakatau.

Di depan masjid kuno, Carita -- Boat menuju Krakatau -- Nasi goreng sarapan

Perjalanan Carita-Anak Krakatau menghabiskan waktu sekitar 2 jam perjalanan laut. Di sana kita disuguhkan pemandangan laut luas, Selat Sunda. Pagi itu laut sangat tenang, hati saya pun menjadi tenang. Nasi goreng kotakan lengkap dengan ayam goreng dan telur ceplok menjadi menu sarapan pagi di atas boat. Oia, pengemudi boat kami sudah cukup berumur, ya mungkin sekitar 60 tahun, saya tak sempat menanyakan namanya. Namun, yang unik ternyata bapak pengemudi cukup gaul. Topi yang beliau pakai adalah topi surfer bermerk VOLCOM. Bertampang dingin namun sudah handal mengemudikan boat, begitulah ciri khasnya. Sementara salah satu ABK-nya, kalau tidak salah namanya Ade, beliau sangat ramah dan murah senyum, sepintas wajahnya mirip pelawak Boneng waktu masih muda.

Sang Nakhoda "Gaul" dan ABK-nya

Berbentuk pulau dengan sedikit vegetasi hijau dan ditengah-tengahnya menjulang the great volcano Anak Krakatau, kami telah sampai tujuan. Jam tangan saya menunjukkan pukul 10.00 WIB, sinar mentari pagi sangat sehat menyengat kulit. Pasir-pasir gunung yang hitam terhampar luas diseluruh daratan, pantai hingga gunungnya. Sementara Anak Krakatau berdiri dengan gagahnya angkuh menyapa. Pos penjagaan kecil dari Kementrian Kehutanan pengelola cagar alam Ujung Kulon lengkap dengan beberapa petugas pun terlihat di kaki Anak Krakatau. Begitu besar dedikasi mereka terhadap alam, salute. Berfoto sejenak di dekat pos jaga, kami kemudian mohon ijin pada petugas setempat untuk melakukan pendakian ke puncak Anak Krakatau.

Land of Child Krakatoa

Sebelum Mendaki Anak Krakatau

Kesan pertama saat mendaki adalah terlihat mudah dan jarak tempuhnya tak terlampau jauh. Namun tenyata bayangan saya salah. Trek yang menanjak cukup membuat pemula seperti saya kewalahan. Saya belum pernah naik gunung sebelumnya, selain Bromo dan Ijen. Ijen tak sampai puncak, sedangkan Bromo semua orang pun bisa menaklukannya. Tapi saya memaksakan demi Anak Krakatau yang eksotis. Detik demi detik berlalu, menit demi menit berlari, terengah-engah saya sampai setengah jalan dan saya tertinggal di belakang, sementara teman2 lain sudah beberapa meter di depan. Sebentar mengambil nafas sambil menangkap keindahan alam melalui kamera. Menatap ke atas puncak masih setengahnya, saya berbalik ke samping. Saya pun terkesima dengan pemandangan yang ada. Indahnya luar biasa. Tampak dari kejauhan gunung Rakata dan Pulau Panjang tertutup awan tipis, ciptaan Sang Maha Penguasa. Subhanallah..

Mendaki Gunung Lewati Lembah...

Sang Tetangga : Gunung Rakata dari Anak Krakatau

Meski lelah, kami lanjut mendaki. Lumayan sudah sampai tengah perjalanan. Bowo sudah memimpin di atas, disusul kemudian Keke. Nampaknya Bowo punya motivasi lebih untuk menaklukkan Krakatau karena tepat di belakangnya ada sibajupink. Sementara saya masih berjalan tergopoh dengan terengah, mbak Yanti sibuk dengan dSLR-nya. Mas Tom, Ayu, dan Echi masih asyik berfoto-foto. Pak Edi dan satu ABK kapal tadi masih berjalan dengan menenteng sandal. Dan kemudian hal yang tidak diinginkan terjadi. Anak Krakatau batuk.

Detik-detik "wedhus gembel" Anak Krakatau | Panah Merah itu Posisi saya

Terlihat dari puncaknya Anak Krakatau memuntahkan wedhus gembel. Asap itu berwarna abu-abu pekat dan tentunya panas, menjulur-julur keluar dari kaldera. Tak ada suara gemuruh maupun gempa vulkanik. Tak ada hujan apalagi petir. Kami panik dan jujur saya takut banget pada saat itu. Dengan kalap segera berlari turun. Pak Edi mengomandoi kami untuk segera turun. Dan ternyata turun lebih mudah daripada naik. Tak sampai lima menit sudah berada beberapa meter di bawah. Sesampainya di tempat yang agak aman kami berhenti dan kembali menatap ke puncak Anak Krakatau. Wedhus gembel sudah lenyap, digantikan dengan asap – seperti asap Honda CB jadul yang sedari tadi menguap. Tidak ada dari kami yang pernah mengalami pengalaman luar biasa ini. Sambil beristirahat di bawah pohon kami bertukar cerita. Mereka semua menertawakan saya karena lari paling depan. Maklum karena badan paling gede jadi secara grafitasi akan lebih memudahkan untuk menuruni gunung, alibi saya.

Puas beristirahat, kami melanjut turun gunung untuk pulang. Sesi selanjutnya adalah snorkeling di Legon Cabe, dekat Pulau Panjang, my favourite. Tak lupa berpamitan pada petugas kami segera naik kapal melanjutkan perjalanan. Menurut petugas di sana, kejadian wedhus gembel tadi adalah hal biasa dan tergolong letupan kecil karena tidak disertai gempa vulkanik dan pijaran lava. Ya, tapi tetap saja menyeramkan untuk orang awam seperti kami.

Anak Krakatau dari Sisi Lain

Sebelum snorkeling pak nakhoda “gaul” menyilakan kami untuk memutari Anak Krakatau dengan boat. Sungguh pemandangan dan petualangan yang indah. Dari hasil pengamatan saya, Anak Krakatau terbagi menjadi dua sisi. Sisi pertama sisi landai, aman juga hijau, cocok untuk melabuhkan kapal dan beristirahat di pepondokan petugas jaga. Sementara sisi belakang gunung adalah cadas dan tidak aman. Asap maupun luberan lava sering kali langsung melalui sisi ini. Tidak ada vegetasi tanaman yang tumbuh di sisi ini, cuma ada pasir dan batuan cadas. Saya sempat mendokumentasikan keliling Anak Krakatau dalam video HP. *sayang wordpress tidak mengijinkan saya untuk upload foto, baca: termasuk fasilitas berbayar*

Pulau Panjang dari kejauhan

Perjalanan ke Pulau Panjang, meskipun dekat cukup membuat hati berdebar. Bagaimana tidak, ketika boat kami menuju ke sana, laut sudah mulai tidak bersahabat. Ombak setinggi dua meter menemani perjalanan kami. Jadilah boat milik kami berkali-kali dihempaskan deburan ombak. Seru dan menantang. Cipratan air laut sebagian masuk ke kapal, basah. Saya tidak berani mengambil gambar karena takut kamera atau HP terkena air laut, pun dengan teman-teman lain. Akhirnya saya hanya bisa berdoa dan berserah pada Yang Maha Kuasa semoga perjalanan kami tidak menghadapi rintangan yang berarti.

Sesampainya di spot snorkeling Legon Cabe, ombak masih lumayan tinggi dan belum menunjukkan tanda-tanda mereda, masih sekitar 1,5 meter. Pak nakhoda “gaul” mengisyaratkan  bahwa ombak tersebut masih dalam batas wajar dan tidak berbahaya. Setelah menambatkan boat, Keke si petualang pertama mencebur ke laut, sementara saya dan yang lainnya masih pikir-pikir untuk snorkeling di ombak sebesar itu. Dan benar saja, Keke tidak bisa diam di satu posisi karena terus terseret ombak laut. Yang lainnya masih di kapal dan terserang wabah pusing dan mual-mual. Boat yang terombang ambing oleh ombak membuat kami semua mual mabuk laut. Akhirnya beberapa teman menceburkan dirinya ke laut, untuk sekadar menghindar dari wabah mual di atas boat. Karena kondisi semakin tidak nyaman, kami minta boat agar merapat di Pulau Panjang.

Salah satu Biawak sialan..

Pulau Panjang adalah pulau kosong tak berpenghuni. Berhutan dengan sedikit pantai. Kami makan siang di sana, menunya ayam goreng, menunya biasa sih tapi tempatnya yang luaarr biasa. Sebentar kami bersenda gurau sambil makan, tiba-tiba datang seekor biawak liar yang ukurannya cukup besar. Satu muncul, ternyata ada lagi, mungkin pacarnya atau TTM-nya. Tak seberapa lama muncul lagi yang lain, kali ini lebih kecil. Total ada enam biawak yang mendekati kami. Usut-punya-usut ternyata biawak tersebut keluar karena tertarik dengan aroma ayam goreng kami. Akhirnya ada beberapa potong ayam goreng yang harus direlakan demi menghibur biawak-biawak kelaparan itu.

Selesai makan dan istirahat, kami lanjut untuk meninggalkan Pulau Panjang menuju pantai Carita lagi untuk pulang. Rencananya kami akan menginap di desa Sumur, Pandeglang. Pak Edi tour guide sekaligus EO kami memiliki sebuah penginapan, Villa Sarang Badak namanya. Kami semua akan menginap di sana. Pak Edi sudah berpengalaman dalam hal ini, dan tamunya tidak hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri. Rencana untuk esok hari adalah menuju Pulau Peucang yang katanya mirip surga. Saya sudah tak sabar untuk melanjutkan cerita ini. (to be continued)

Perjalanan Carita-Anak Krakatau-Pulau Panjang berakhir di sini. Anak Krakatau yang bandel tapi gagah pesonanya sungguh membuat semua orang ingin kembali mendakinya. Selanjutnya kami menuju Pulau Peucang dan Ujung Kulon (UK).

artikel dan satu gambar diambil dari sini.

Palima, Serang, Jumat 21 Oktober 2011

Heiiyoo.. saya masih workshop proyek kantor di Kalibata, Jakarta untuk melanjutkan cerita ini, maaf kalau ceritanya rada panjang. My last postCukang Taneuh yang Menawan dan Citumang yang Perawan (Part 1)“, kami; saya, Pandu, Yudha, Rosid, Sindu, Nia, dan Ita masih di sekitaran Kecamatan Cijulang, wanawisata Cukang Taneuh aka. Green Canyon berada. Pulang dengan badan setengah remuk dan beberapa kaki-tangan lecet kami melanjut mencari penginapan. Standar kami bukan hotel bintang tiga ataupun bintang tujuh. Kami mencari homestay, ya, rumah penduduk yang bisa disewa. Menurut informasi local guide kami – masih ingat dengan sopir kapal di Green Canyon pada cerita Part 1, penginapan banyak tersedia di Batu Karas, jika tidak ada di Pangandaran. Berangkat dari informasi itu, melanjutlah kami ke Batu Karas.

Batu Karas Surfing Destination

Pantai Batu Karas, Pangandaran, Kab. Ciamis

Sore hari sekitar pukul 16.00 kami masuk wilayah Batu Karas. Belum menikmati pemandangan apapun, kami sudah ditarik retribusi di gerbang masuk lokasi Rp27.200,- untuk satu mobil, tidak mahal. Mulailah kami mencari penginapan. FYI, Batu Karas merupakan nama salah satu destinasi wisata pantai selatan yang letaknya di Desa Batukaras, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat yang dapat dijangkau dengan kendaraan lebih kurang 45 menit dari Pangandaran atau 5 menit dari Green Canyon. Batu Karas adalah surga bagi olahraga selancar dan olah raga air lainnya seperti banana boat. Sore itu, Batu Karas lumayan rame. Banyak juga wisatawan asing maupun domestik yang datang ke Pantai Batu Karas untuk berselancar. Di sini kita bisa mencoba kemantapan kaki untuk berdiri dan meliuk bersama ombak di atas surfboard. Namun, olahraga itu tidak cocok bagi saya, kebetulan satu-satunya papan selancar yang saya punya adalah papan untuk setrika alias ironboard, dan saya tidak membawanya.

30 menit kami berkeliling mencari penginapan. Karena hari itu adalah weekend, semua penginapan di pinggir pantai sudah penuh. Setelah bertanya sana-sini dapat lah kita penginapan. Homestay atau rumah penduduk itu harganya Rp500.000,- per malam dengan fasilitas dua kamar tidur, ac (angin celowokan), kamar mandi luar (bener2 di luar rumah utama dengan penutup seadanya), tv 14″, kompor gas yang gasnya harus beli dulu, dan listrik mungkin 450watt yang gampang sekali nggejlek. Dengan fasilitas seperti itu, Nia sang akuntan langsung nego. Dan kita mendapat harga spesial hari itu meskipun katanya yang punya rumah tidak sedang ulang tahun, Rp300.000,- semalam. Cukup sebanding dengan fasilitasnya.

Malam di Pinggir Pantai Batu Karas, Pangandaran

Malamnya kami berjalan menyusuri pantai karena sore tadi harus istirahat dan bersih-bersih badan. Niat awal mencari makan seafood atau semacamnya. Tapi akhirnya kami urungkan karena tempat dan harganya tidak representatif (baca: mahal). Bolehlah kami berfoto di sekitaran pantai selatan. Malam yang cukup hiruk dengan desiran angin khas pantai selatan dan diselingi deburan ombak yang menderu kencang – dingin menusuk tulang. Suara nyaring pepohonan bergesekan dengan angin bak bernyanyi dalam kesunyian malam. Malam itu, pantai Batu Karas sedang pasang. Kami terus memantau twitter dan social network lainnya takut ada tsunami datang. Dan, Alhamdulilah ya ternyata tidak ada tsunami, sesuatu banget buat kami.

Di homestay, kami; saya, Pandu, Nia, Yudha lanjut bermain kartu, sementara chef Ita dan chef Rosid menyiapkan menu makan malam spesial, Indomie goreng khas anak kos, setelah sebelumnya membeli gas elpiji 3kg Rp15.000,- salah satu “fasilitas” homestay kami. Dan Sindu terkapar pulas di kasur karena belum tidur 3 hari 3 malam karena kesibukan kerjaan. Capek bermain kartu minuman (kadang juga disebut permainan cangkul), kami main truth or truth, bukan truth or dare, karena dare-nya bingung disuruh apa. Jadilah sesi curhat gratis malam itu, sangatabgsekali.

Pukul 07.00 pagi kami bersiap untuk kembali menyambangi pantai. Rencana utama adalah melihat sunrise from the south of Java. Namun alih-alih melihat sunrise, karena kesiangan, kami cuma kedapatan sunbath. Ya, karena matahari sudah tinggi, pantai sudah panas oleh terik matahari pagi. Jadilah kami hanya berfoto di suatu tanjung yang menjulang membentuk bukit di pinggir pantai Batu Karas. Di bawahnya deburan ombak pantai selatan beradu dengan cadasnya batu karang, indahnya istimewa.

Meretas cerita di bukit-tebing pinggir Pantai Batu Karas, Pangandaran

Puas berfoto-foto kami kembali untuk bersiap melanjutkan perjalanan pulang. Sebelum pulang kami sepakat untuk mencari satu obyek wisata lagi. Dan pantai Batu Hiu yang kami pilih.

 Pantai Batu Hiu Wisata Keluarga

Kurang lebih 20 menit perjalanan dari Batu Karas, Innova tangguh kami memasuki wisata Pantai Batu Hiu, sebuah pantai dengan tebing cukup terjal yang memiliki pemandangan lepas ke arah Samudra Hindia. Pantai Batu Hiu ini terletak di Desa Ciliang, Kecamatan Parigi, Kabupaten Ciamis. Pantai ini dinamakan “Batu Hiu” karena tampak di pinggir laut sebuah batu karang yang menyerupai sirip ikan hiu. Pantai batu hiu mudah dikenali karena memiliki landmark yang cukup unik di gerbang masuk lokasi wisata. Seekor hiu besar yang siap memangsa para pengunjung adalah landmarkutama wisata Pantai Batu Hiu ini. Tebing di pinggir bukit di tepi pantai Batu Hiu adalah spot memancing terbaik di sini. Dari sana para pemancing-pemancing lokal maupun luar kota beradu teknik demi mendapat ikan karang buruannya. Kebetulan saya membawa pancing, dua bahkan, namun bukan pancing yang cocok karena alat pancing yang saya punya adalah pancing kali bukan pancing laut.

Foto Model Style @Batu Hiu, Pangandaran

Sungguh berada di sana membuat kami tak bosan. Sangat seru berdiri di tepi tebing terjal dengan ketinggian, mungkin 15 meter. Khawatir kesorean kami memutuskan untuk segera beranjak dari surga dunia itu. Pukul 09.00 kami melanjutkan perjalanan untuk pulang, setidaknya itu rencana awal sebelum hal yang menakjubkan menimpa kami.

Berbelok dari pantai Batu Hiu, kami menuju jalur utama Pangandaran untuk pulang. Namun, entah kenapa sang driver Pandu malah menuju ke wisata alam lain sekitar situ. Saya tak jelas maksudnya. Okelah mampir sebentar, batin saya. Melalui sebuah jalur yang sempit, saya melirik ke sebuah tulisan di atas, “Menuju Lokasi Wisata Alam Citumang”. Bingung, mungkin pantai lagi, tidak ada yang tahu.

Citumang “The Hidden Paradise”

Melalui jalan yang sempit, Innova kami menuju ke the unknown place, Citumang. Satu-dua portal mirip pos penjagaan terlewati. Pertama masuk bayar Rp1.500,- kemudian pos berikutnya Rp2.000,- kemudian semakin ke dalam semakin sempit jalurnya. Mana tempat wisatanya? Kenapa cuma hanya ada portal dadakan yang dibuat oleh penduduk setempat untuk menghalalkan pungli? Pun tidak dengan karcis yang resmi dari dinas pariwisata setempat. Belum sempat pertanyaan saya itu terjawab di depan sudah ada portal lagi. Kali ini bayar Rp5.000,- buat ongkos parkir katanya.

Ke arah kiri Innova kami mengambil posisi parkir. Buka jendela mobil, ada bapak-bapak yang datang menghampiri. Kesempatan ini tak kami sia-siakan. Dengan polosnya kami langsung bertanya, “Ini wisata apa?”. “Ini Citumang”, jawab bapak itu sekenanya. “Citumang itu apa?”, lanjut kami masih dengan wajah bingung. “Ayo turun lihat-lihat fotonya”, jawab bapak tadi dengan ramah.

Citumang, the Hidden Paradise

Dan ternyata Citumang adalah the hidden paradise. Gambar yang dicitrakan dalam foto yang ditunjukkan pada kami oleh bapak penjaga tadi sangat memukau. Indahnya istimewa – sungai, goa, dan airnya. Yap, Citumang merupakan nama sungai di Desa Bojong, Kecamatan Parigi, Kabupaten Ciamis. Satu hal yang unik dari Sungai Citumang, airnya berwarna kebiruan mengalir dari dalam goa cadas tak jauh dari sana. Goanya indah dengan stalaktit-stalaktit proses alamiah ratusan tahun. Konon, nama Citumang berasal dari legenda seekor buaya buntung bernama “Si Tumang” yang hidup disekitaran goa. Begitu kuatnya kepercayaan penduduk akan kehadiran buaya buntung tersebut sehingga sampai sekarang sungai itu diberi nama Citumang. Sedangkan goa alami yang mengalirkan air sungai dari dalam tanah bernama Goa Taringgul.

Tanpa pikir panjang kami memutuskan untuk mengambil tour-Citumang. Kami dapat menikmati wisata alam Citumang hanya dengan membayar kalau tidak salah Rp35.000,- per orang itu sudah termasuk sewa pelampung Rp15.000,-. Sedangkan tips guide tersendiri dan terserah pengunjung. Di Citumang atau biasa dikenal dengan the Green Valley kita bisa melakukan aktivitas seperti tracking, wall climbing, berenang, body rafting, dan yang paling seru adalah ekspedisi goa Taringgul.

Citumang masih perawan, mungkin masih banyak belum tahu lokasi itu. Berbeda dengan Green Canyon yang pengunjungnya sampai antri panjang. Di sini, kami langsung masuk dan menuju lokasi tanpa antri. Meski tidak seramai Green Canyon, keksotisan Green Valley Citumang tidak kalah. Kami langsung masuk ke bibir goa Taringgul, berenang. Goanya gelap, airnya biru sedalam mungkin 6-7 meter. Seperti halnya green canyon, di sini juga ada anjungan untuk adegan loncat indah. Bedanya di Citumang, sebelum loncat kami memanjat tebing kemudian dilanjut memanjat akar pohon berdiameter 20cm, cukup serem untuk mengadu nyali. Tinggi akar yang tumbuh horizontal di atap gua ini sekitar 5 meter dari permukaan air. Hampir semua dari kami meloncat termasuk kali ini Rosid. Agaknya dia penasaran setelah kemarin tak melompat. Saya dan Pandu melompat, jebuur…suara gemuruh airnya mantab. Sedangkan Rosid melompat, clepekk…suaranya kurang mantab karena badannya terlalu ringan. Sindu, sama seperti ketika di Green Canyon, dia yang paling semangat memanjat. Namun ketika sudah sampai di akar pohon di atap gua, dia kembali mengurungkan niatnya, turun melalui tebing dan tidak jadi lompat. Nampaknya keeksotisan Citumang belum dapat membujuk nyalinya.

1) Persiapan Loncatan 2) Terbaang..

Setelah berenang kami melanjut menyusuri goa Taringgul. Gelap, senyap, dan mungkin mistis. Pandu sebagai seorang dokter telah menyiapkan perlengkapan khusus untuk menyusuri goa, yaitu senter pasien mini. Dia berenang paling depan, diikuti kami ber-enam, sedangkan guide kami entah kenapa tidak mau mengikuti dan malah berdiri di belakang. Airnya semakin biru, tak tampak dasarnya, dan kaki kami hanya bisa berenang tidak sampai menyentuh dasar, kabarnya kedalaman sungai goa itu hingga 9 meter. Sampai di ujung goa, tidak ada apa-apa. Seperti sebuah gang, di sinilah jalan buntunya. Atap goa agak terang, tanda ada lobang kecil di ujung atap goa. Kami ternganga melihat cakrawala goa, begitu indahnya. Saya kemudian berbalik arah ke belakang, tiba-tiba Ita berteriak dan bergegas berenang keluar goa. Kami kaget, kami semua ikut berenang secepatnya keluar goa. Ada apa gerangan hingga berteriak lantang seperti itu. Usut punya usut, Ita takut memasuki goa itu dan ketika di dalam merasa ada “sesuatu” berenang di bawah air dekat kakinya. Saya berharap itu bukan ular anaconda segede pohon kelapa seperti di film-film. Namun dibalik itu semua, kita semestinya harus lebih “sopan” jika berada di tempat jarang manusia seperti itu. Mungkin ada makhluk lain yang tidak suka dengan kehadiran kita, bisa jadi, tidak ada yang tahu.

Perjalanan kami selanjutnya menyusuri sungai menuju pos utama, it’s body rafting time!! Kadang sungai lumayan dalam, dan kadang cuma semata kaki. Kadang berenang dan kadang berjalan. Setiap ada air terjun kecil kami langsung menuruninya loncat indah dengan gaya seunik-uniknya selucu-lucunya. Kami juga menemukan teknik body rafting baru. Jadi, cara ini hanya bisa dilakukan secara tim. Kami menyebutnya, gaya uler-uleran(“uler”, bahasa Jawa = ulat). Tangan anggota paling belakang memegang kaki anggota tim depannya, begitu seterusnya sampai depan. Anggota paling belakang bertugas mengalirkan energi gerak dengan cara menarik-dorong kaki anggota depannya, sehingga membentuk suatu gerakan yang konstan. Sementara anggota paling depan bertugas mengatur arah sebagai sopirnya. Seru.

Citumang Punya Cerita

Kami merampungkan tour-Citumang pada pukul 01.00 siang. Sebenarnya kami masih ingin bermain lebih lama di sana, sayang mengingat jarak pulang yang cukup jauh, kami menyudahinya lebih awal. Hal yang kembali sangat disayangkan adalah kami hanya sedikit mengambil foto di Citumang, karena kamera Yudha sudah kalah kehabisan baterei sejak awal.

Di perjalanan pulang, macetnya perjalanan sebelum lingkar nagreg membuat kami jadi banyak bertukar cerita. Mulai cerita ilmiah fisika favorit saya hingga cerita mistis. Oia, malam itu kami menyadari ada beberapa keanehan foto kami di Citumang. Penampakan orbs di satu dari sekian banyak foto di depan goa Taringgul dan tangan misterius di tengah sungai. Banyak perdebatan dan diskusi yang terjadi. Yaah biarlah itu menjadi misteri penghias perjalanan kami yang mengasikkan dan menyenangkan :). Green Canyon yang menawan dan Citumang yang perawan. Sampai jumpa di perjalanan kami selanjutnya.

Kiri: Orbs di Goa Taringgul; Kanan: Misteri tangan siapa

Dari kiri atas: Rosid, Ita, Sindu, Pandu ; Dari kiri bawah: saya, Yudha, Nia

-beberapa foto dipinjam dari sini dan sana

kalibata-jakarta, rabu, 05 oktober 2011

Grand Canyon, USA. adalah sebuah ngarai tebing-terjal, diukir oleh Sungai Colorado, di utara Arizona. Ngarai ini merupakan satu dari Tujuh Keajaiban Dunia dan sebagian besar berada di Taman Nasional Grand Canyon; salah satu taman nasional pertama di Amerika Serikat. (wikipedia.org)

Itulah sepenggal artikel di laman wikipedia yang menjelaskan tentang ngarai terbesar nan indah di Amerika Serikat yang sudah sering kita kenal. Namun bukan itu yang akan saya ceritakan di posting kali ini.  Namanya Green Canyon atau ngarai hijau, adalah sebuah ngarai yang membentang di tepi sungai Cijulang yang dialiri air berwarna hijau, sehingga disebut Green Canyon. Wanawisata ini terletak di Desa Kertayasa Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis ± 31 km dari Pangandaran dan ± 130 km dari jantung kabupaten Ciamis. Penduduk sekitar menamai lokasi wisata tersebut dalam bahasa Sunda dengan cukang taneuh atau dalam bahasa Indonesia artinya jembatan tanah. Disebut jembatan tanah mungkin karena ngarai/tebing antara dua tepi sungai hampir menyatu menyerupai jembatan.

Cukang Taneuh "Green Canyon of Indonesia"

Wisata Cukang taneuh atau saya lebih suka sebut Green Canyon, sudah dikenal mulai tahun 90-an setidaknya itu informasi yang saya dengar dari local guide di sana. Sebutan “Green Canyon of Indonesia” sendiri mulai dikenal sejak sekelompok turis dari Perancis mengunjungi daerah tersebut pada tahun 1993. Sejak itulah nama tersebut lebih populer di kalangan masyarakat dan para pelancong dari dalam dan luar negeri.

Saya dan enam sahabat perantauan Jember; Pandu, Yudha, Rosid, Sindu, Nia, dan Ita  berkesampatan mengunjungi Green Canyon tersebut pada 10-11 September 2011 baru-baru ini. Berawal dari perbincangan reuni dan buka bersama pada Agustus 2011, kami sepakat untuk berplesir ke wilayah Ciamis dan Pangandaran, Jawa Barat ke Green Canyon of Indonesia. Jumat malam pukul 18.00 saya meluncur dari Serang sepulang kantor dengan mengendarai Innova G keluaran tahun 2010 sewaan menuju Jakarta. Meeting point pertama telah kami tentukan yaitu di Citos, Jakarta Selatan. Sejam lebih saya menunggu, berkumpullah Sindu, Yudha, Rosid, dan Nia. Lepas pukul 23.30 malam kami berangkat menuju Cianjur meeting point kedua, molor dua jam dari jadwal.

Jagorawi Malam

Dan perjalanan ke Cianjur adalah perjalanan yang penuh cerita. Saya, Sindu, Yudha, Rosid, dan Nia tidak pernah sekalipun ke Cianjur, pun melewati tol Jagorawi. Sepi senyap, nyaris masuk ke tol Cikampek dan nyaris mencium truk tronton karena tidak sadar bahwa tol berjalur dua arah langsung menghiasi cerita perjalanan. Dini hari sekitar pukul 01.30, setelah keluar dari tol Jagorawi kami masuk kalau tidak salah itu kota Bogor. Kota Bogor tidak macet seperti yang diceritakan orang, karena memang saat itu adalah dini hari tidak banyak orang beraktivitas. Pandu sahabat yang kami jemput di Cianjur memberi perintah “keluar tol langsung lurus!”.  Kata-kata itu kami pegang selama perjalanan menuju Cianjur. Kami tidak mengindahkan rambu penunjuk arah lagi karena perintahnya sudah jelas “jalan lurus“. Sejam, sejam setengah kami jalan. Kenapa tidak seperti yang dipandukan, batin saya. Tidak melewati Cipanas dan tidak melewati puncak. GPS menunjukkan wilayah Cibadak. Kami segera menelepon Pandu dan berharap memandu dengan benar. Dan yang kami khawatirkan terjadi, nyasar. Sebenarnya sih bukan nyasar cuma agak memutar sedikit. Seharusnya melewati jalur puncak tapi kami melewati Sukabumi. “Ya namanya juga jalan-jalan”, pembenaran saya.

Agar lebih memudahkan pencarian dan tidak nyasar lagi kami menggunakan fasilitas Google Latitude lewat ponsel BB. Dan perjalanan Sukabumi – Cianjur pun dimulai. Awalnya perjalanan lancar jaya karena jalanan sepi – asoy. Namun ketika sudah mendekati Cianjur, di jalan turunan, sekitar pukul 03.00, kami melihat keanehan terjadi. Pohon-pohon di kiri jalan tumbang. Tidak ada hujan angin, tidak ada pembalakan liar, pun tidak ada Death-Eaters yang mengacau. Kenapa pohon2 pada tumbang? Tak lama kami disetop oleh bapak-bapak penduduk sekitar. Informasinya ada kecelakaan tunggal truk gede yang tergelincir dan truknya menghalangi seluruh jalan. Sopirnya masih tersangkut di dalam truk tidak ada yang berani mengevakuasi, entah masih hidup atau sudah pindah alam. Sayang sekali kami tidak sempat mengabadikan kejadian nahas tersebut. Kami diarahkan untuk mengambil jalur alternatif lewat perkampungan. Sungguh jalur yang tidak cocok untuk mobil Innova. Jalur persawahan nan berbatu naik turun selebar 3 meter saja. Sindu sang driver waktu itu berjalan hati2 sambil sesekali “dimarahi” oleh pengemudi di belakang karena jalannya terlalu lambat, sambil berteriak “terus..terus..“. Meskipun ada pertigaan dan jurang di depan entah kenapa orang-orang ini tetap berteriak “terus..terus..“.

Rumah Makan BETI di Kota. Banjar

Pukul 03.40 kami tiba di Cianjur. Pandu sudah stand by dan segera melanjutkan perjalanan ke Kopo, Bandung meeting point ketiga menjemput Ita alias Yunita. Setelah menjemput Ita di Kopo kami lanjut menuju Ciamis. Lingkar Nagreg menjadi tantangan pertama. Pandu, sudah lihai mengarungi jalur Nagreg. Tapi oopss, Rosid tak tahan dan muntah. Muntah di depan rumah orang yang tak berdosa. Ita pusing tapi tak jadi muntah karena duduk di samping pak sopir Pandu yang sedang bekerja.

Pukul 08.00 kami berhenti di Kota Banjar untuk sarapan. Kami memilih resto seadanya yang penting cepat. RM Beti di Tanjungsukur, Kota Banjar jadi pilihan kami. Kami memesan nasi goreng karena seharusnya menu tersebut terbilang makanan cepat saji. Tapi ternyata sama juga lama.

Cukang Taneuh aka. Green Canyon

Dari kiri: Pandu, Ita, Nia, Sindu, Saya, Rosid, dan Yudha (yg motret)

Sekitar pukul 10.30 kami tiba di lokasi Green Canyon. Sempat berfoto sebentar di depan gerbang kemudian lanjut ke loket. FYI, untuk menikmati wisata Green Canyon dengan kapal kecil cukup membayar Rp75.000,- untuk satu kapal dengan muatan max. 5 orang dengan durasi legalnya 45 menit. Kami sewa dua kapal karena kami bertujuh. Selain itu terdapat juga paket body rafting dengan tarif Rp800.000,00 untuk 5 orang. Kami tidak memilih paket yang mahalnya selangit itu. Kami memilih membuat paket body rafting sendiri. Nanti saya ceritakan 🙂

Perjalanan dimulai dengan mengantre kapal menuju Green Canyon di dermaga kecil dekat loket. Menurut petugas di sana, perjalanan menuju Green Canyon dengan kapal membutuhkan waktu 15 menit. Sehingga pulang pergi 30 menit dan waktu bermain-main di Green Canyon hanya 15 menit. Sudah jauh-jauh masa cuma sebentar saja di Green Canyon. Kami lalu mencari cara lain untuk sekedar memperlama waktu “bermain”. Berdasarkan informasi teman Pandu, pengemudi kapal juga bisa menyulap dirinya menjadi local guide. Local guide yang dimaksud disini adalah mereka bisa disuap agar bisa memperpanjang durasi sekeinginan kita sambil mengantar ke lokasi-lokasi indah di Green Canyon. Agak menyalahi aturan memang, tapi sekali-sekali boleh lah. Selama di kapal, kami menikmati pemandangan sekitar yang sangat indah-alam asri, berfoto-foto, sambil melakukan tawar menawar dengan pengemudi kapal terkait tarif special request kami. Akhirnya kami deal di harga Rp320.000,00 untuk dua kapal. Sedikit mahal, tapi lumayan lah daripada cuma 15 menit di sana.

Pada 15 menit Perjalanan Kapal ke Green Canyon

Kami begitu menikmati pemandangan alam menuju Green Canyon dengan menggunakan kapal kecil. Susunan batu cadas di sepanjang bibir sungai menghiasi kanan kiri-jalur kami. Begitu terlihat jeram dengan alur yang sempit yang sulit dilewati oleh perahu berarti sudah sampai di mulut Green Canyon, di mana airnya sangat jernih berwarna kebiru-biruan hampir hijau. Tebing-tebing terjal mirip ngarai menyajikan keindahan tersendiri, yang paling unik berbentuk menyerupai sebuah gua yang atapnya sudah runtuh. Selain itu kami juga melewati stalaktit-stalaktit yang masih dialiri tetesan air tanah. Saya hanya berharap semoga atap dan dinding ngarai ini tidak benar-benar runtuh. Aktivitas utama di sini adalah berenang dan berfoto ria. Saran saya bawalah kamera anti air, dry bag untuk menyimpan dompet dan ponsel, serta baterai kamera cadangan. Pengalaman kami membawa pocket camera biasa dengan baterai yang cepat habis sangat menyebalkan. Hasrat berfoto-foto menjadi kurang maksimal.

Satu hal yang unik, beberapa meter dari tebing Green Canyon terdapat semacam anjungan yang sering dimanfaatkan untuk melakukan adegan lompat indah. Tingginya sekitar 7 meter. Lokasi ini merupakan spot favorit kami. Semua dari kami mencoba meloncat dari atas kecuali Rosid. Mungkin karena badan yang terlalu enteng jadi agak khawatir. Yang menarik adalah Sindu. Berkoar akan loncat 2 kali ternyata malah tidak berani lompat, ingat istri katanya. Akhirnya setelah lama berjuang melawan rasa ngerinya Sindu turun lewat dinding bebatuan (baca: tidak jadi loncat). Ternyata pengalaman loncat dari ketinggian 7 meter lumayan seru juga. Sempat melayang beberapa saat lalu, “jebuuurrrr….“.

1) Spot Lokasi Anjungan 2) Mendaki Puncak Bibir Anjungan 3) Bersiaaappp.. 4) Jebuurrr..

Perjalanan dilanjutkan semakin ke dalam. Sungai semakin sempit namun semakin dingin dan berwarna hijau. Setelah dua jam bermain rasa lelah mulai menghinggapi. Akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi perjalanan di Green Canyon hari itu. Satu hal lagi yang unik ketika kami pulang. Kami pulang tidak berjalan kaki atau berenang seperti saat berangkat. Kami pulang dengan gaya sepur-sepuran (baca: posisi kereta-keretaan). Jadi kami perpegangan kaki pada punggung dan mengalir mengikuti arus sambil sesekali menghantamkan diri ke batu kali, that is real body rafting stuff guys..

Green Canyon yang Menawan

Perjalanan hari itu berakhir pada pukul 15.00. Kami bersiap mencari penginapan di sekitaran Batu Karas atau alternatif lain di Pangandaran untuk melanjutkan kegiatan di esok hari. (to be continued)

-catatan kaki: dua gambar dipinjam dari sini dan situ

semeru st, jember 01 oktober 2011

Batik Jogja, Batik Pekalongan, Batik Cirebon sudah biasa. Motif parang baron, parang rusak, megamendung, gringsing pun sudah biasa. Bagaimana dengan batik Tanjungbumi atau motif batik tluki kurung? Belum tentu.

Tanjungbumi merupakan daerah yang menjadi sentra batik yang cukup terkemuka di Pulau Madura. Letaknya 50km ke arah utara Kabupaten Bangkalan, Madura dan berdekatan dengan wilayah laut, tepatnya Laut Jawa. Desa Tanjungbumi dapat ditempuh dengan mobil pribadi selama 45-60 menit. Namun, jika teman2 ingin menggunakan angkutan umum, dari Bangkalan-Tanjungbumi cukup mengeluarkan uang Rp 8.000 hingga Rp 10.000 sudah tiba di perkampungan batik Tanjungbumi. Di desa ini, membatik sudah menjadi keseharian warganya. Konon, pada mulanya para istri membuat batik untuk mengisi waktu luang sambil menunggu suami datang melaut. Ya, profesi nelayan merupakan mata pencarian utama para laki-laki di Tanjungbumi karena kondisi geografisnya dekat dengan laut. Di desa ini setidaknya terdapat kurang lebih 900 perajin batik yang menyebar di seluruh Tanjungbumi. Tak heran para remaja di sana pun telah mahir membuat batik.

Rute dari Bangkalan Menuju Tanjungbumi

Rute dari Bangkalan Menuju Tanjungbumi

Kebanyakan motif batik Tanjungbumi berkisar pada motif batik tulis pesisir yang dipengaruhi oleh lingkungan dan letak geografisnya. Warna-warna khas batik tulis di daerah ini menggunakan warna-warna yang tajam dan kontras yang disesuaikan dengan karakter masyarakat Madura. Salah satu warna yang menjadi ciri khas adalah warna merah. Biasanya ada setitik warna merah pada motif daun, bunga, merak, dan sebagainya. Bagi masyarakat Tanjungbumi, dulunya batik diperlakukan sebagai barang berharga layaknya emas atau tabungan dan diwariskan kepada anak cucu. Namun, seiring berjalannya waktu, batik sudah mulai dikomersialkan. Batik Tanjungbumi konon bisa bertahan dan awet hingga puluhan bahkan ratusan tahun tanpa lapuk maupun berubah warna.

Batik Sarimbit (sepasang)

Batik Tanjungbumi Sarimbit (sepasang)

Batik Tanjungbumi

Batik Tanjungbumi, Madura, Indonesia

Kebetulan Minggu 30 Januari 2011 lalu, saya bersama keluarga berkesempatan mengunjungi Desa Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan, Madura. Perjalanan ini bisa dibilang perjalanan tak sengaja karena tujuan utama kami sebenarnya adalah pengen tau jembatan yang fenomenal dan terpanjang di Indonesia, Suramadu. Saya, Bapak dan Ibu saya, beserta adik saya satu-satunya, Nabila, berempat mengendarai kendaraan pribadi. Kami berangkat dari Kota Probolinggo, Jawa Timur selepas menghadiri resepsi pernikahan kakak sepupu saya. Kami berangkat mulai pukul 14.00 WIB dengan mode berkendarasantaisaja. Karena kami semua belum pernah ke sana, saya menggunakan fasilitas GPS untuk memudahkan perjalanan kami. Sekitar pukul 16.30 WIB kami mulai masuk gebang tol pada Jembatan Nasional Suramadu.

Jembatan Nasional Suramadu merupakan jembatan yang melintasi Selat Madura, menghubungkan Pulau Jawa (di Surabaya) dan Pulau Madura (di Bangkalan). Dengan panjang 5.438 m, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia saat ini. Jembatan Suramadu terbagi menjadi dua jalur, jalur kendaraan roda dua dan jalur kendaraan roda empat, di ujung keduanya terdapat gerbang tol tempat transaksi pembayaran tarif tol. Saat malam menjelang, jembatan ini menjadi sangat indah, temaram oleh terangnya lampu yang menempel pada tiang jembatan. Kerlipnya membuat semua orang yang lewat merasa berada di golden gate di Amrik sana.

Suramadu in the dark n light

Suramadu in the dark 'n the light

Kami tiba di Kabupaten Bangkalan, Madura pada malam hari. Jika kami pulang, Jember masih jauh dan semua sudah lelah. Karena tidak ada satupun sanak saudara di Madura, penginapan seadanya kami cari. Ternyata cukup susah mencari tempat penginapan di sini. Setelah bertanya kanan-kiri, kami diberi informasi bahwa ada satu hotel dekat alun-alun kota. Setelah berputar beberapa saat hotel yang dimaksud ketemu juga. Namanya Hotel Ningrat, tak terlalu buruk untuk ukuran hotel kelas melati. Mengambil tema desain rumah kuno, interior maupun eksterior hotel ini cukup memikat hati. Saya hanya berharap mudah-mudahan hotel ini tak berhantu saja.

Paginya, petugas hotel menceritakan tentang desa Tanjungbumi, desa pembuatan batik Madura yang terkenal. Segera kami menuju ke desa Tanjungbumi. Jalanan selebar 5 meter dengan marka setengah hati kami lalui. Kurang lebih 1 jam perjalanan dihabiskan menuju desa Tanjungbumi dengan pemandangan lingkungan desa di kanan-kirinya. Sawah, semak, vegetasi bakau, perkampungan, sawah lagi, semak lagi, bakau lagi, begitu seterusnya. Sampai pasar desa Tanjungbumi, kami bertanya pada masyarakat setempat dimana tempat pembuatan batik. Kami berbelok ke sebuah gang, di seberang masjid. Di sanalah seorang perajin batik tinggal, Bu Rohayah namanya. Perawakannya kecil dan telah termakan usia, namun masih semangat membuat batik. Dia menceritakan segalanya, bagaimana proses membuat batik, mulai dari hanya selembar kain putih kosong menjadi sebuah kain batik yang bernilai seni tinggi.

Buk Rohayah dan Alat batiknya

Buk Rohayah dan Alat membatiknya

Batik dibuat dengan cara yang sederhana,  dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Batik juga dapat dibuat di atas berbagai macam bahan seperti sutera, poliester, rayon, dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia (dapat juga dengan dengan air panas) untuk melarutkan lilin.

Batik Setengah Jadi (sebelum dicelup)

Batik Setengah Jadi (sudah dibatik, belum dicelup)

Penjemuran Batik (setelah lilin dikelupas)

Penjemuran Batik (setelah lilin dikelupas)

“Jangan lupa sama batik gentongan!”, pesan bu Rohayah. Batik gentongan merupakan jenis batik spesial yang ada di Desa Tanjungbumi. Disebut gentongan, karena proses pewarnaan batik ini direndam dalam wadah mirip gentong. Batik ini terbuat dari pewarna alami misalnya, kulit pohon jambal untuk warna kuning, warna merah bisa diambil dari kulit mengkudu, warna hijau dari kulit mundu dicampur tawas. Proses perendaman batik gentongan berbeda dengan batik pada umumnya. Batik jenis ini bisa menghabiskan waktu sebulan hingga setahun. Semakin lama direndam, semakin bagus dan kuat hasil proses pewarnaannya dan tentunya harganya semakin mahal. Selembar kain batik tulis gentongan bisa dijual dengan harga Rp 4 juta hingga Rp 5 jutaan. Jenis batik inipun dapat bertahan hingga puluhan tahun tanpa memudar warnanya. Sayang, saat kami berkunjung ke Desa Tanjungbumi tidak ada batik gentongan karena bukan hari pasaran (hari pasaran di Madura adalah hari Jumat-Sabtu).

Batik Gentongan

Batik Gentongan

Batik Tanjungbumi, seperti batik pada umumnya memiliki harga yang bervariasi. Variasi harga ini ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain adalah karena bahan dasar (kain) yang bagus, rumitnya motif, pembuatan motif pada dua sisi (bolak-balik), proses pewarnaan (pencelupan) yang dilakukan berulang kali, dan pembuatan batik yang dilakukan secara tanggung renteng (dikerjakan bukan oleh satu orang). Beberapa batik Tanjungbumi juga terkadang bertekstur kasar. Namun, meski tampak kasar, bukan berarti batik Tanjungbumi murahan. Bahan yang kasar jika di-treatment dengan baik dan benar, maka batik akan terjaga keindahannya. Kapan-kapan saya posting beberapa tips merawat batik agar awet dan semakin indah. Oia, salah satu keistimewaan batik Tanjungbumi adalah semakin lama warnanya semakin cerah.

Pulang dari Tanjungbumi, saya membawa beberapa batik untuk dijual. Batik yang saya bawa adalah batik dengan range harganya berada pada kisaran tengah. Tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah, agar mudah nanti dijualnya. Oia, teman2 yang tertarik dengan batik Tanjungbumi, bisa menghubungi saya. Yaah belajar menjadi enterpreneur kecil2an laah..

Readystock on exclusive items (masing2 cuma ada satu)

Readystock on exclusive items (masing2 cuma ada satu)

Sumber artikel : Malang Post, Savira Batik, Batik Madura.

Gambar diambil dari sini, sini, situ

semeru st., jember, Minggu, 6 Februari 2011

Tak terasa sudah hampir 203 tahun lamanya (1808-2011) jalur Anyer-Panarukan didirikan. Masih teringat ketika guru sejarah SMP saya dulu menceritakan masa kelam bangsa Indonesia ketika dipaksa untuk membangun giga proyek “jalan tol” dari Anyer-Panarukan yang dikenal dengan Jalan Raya Pos atau De Groote Postweg sepanjang 1000km. Menurut sumber dari Inggris, giga proyek ini menelan hingga 12.000 korban jiwa sebagai efek kerja paksa oleh rakyat Indonesia pada saat itu. Jumlah tersebut tidaklah mutlak dan besar kemungkinan jumlahnya melebihi angka 12.000 mengingat pembangunannya dilakukan secara manual dengan melibatkan puluhan ribu tenaga manusia.

H.W. Daendels (1762-1818)

H.W. Daendels (1762-1818)

Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) ini dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels (1762-1818). H.W. Daendels adalah marsekal Belanda yang diangkat menjadi gubernur jenderal di Hindia-Belanda oleh Napoleon, penguasa Belanda pada saat itu. Tugas utama Daendels adalah mengantisipasi serangan angkatan laut Inggris yang telah memblokade Pulau Jawa. Tahun 1808, Daendels tiba di Anyer, setelah melalui perjalanan panjang melalui Cadiz di Spanyol Selatan, Kepulauan Kanari, menggunakan kapal berbendera Amerika dari New York. Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa, Daendels berangan-angan untuk membangun jalur transportasi sepanjang Pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan hingga 1000km. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Berkat tangan besi Daendels itulah giga proyek pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan selesai selama satu tahun (1808), sebuah prestasi yang spektakuler mengingat teknologi dan sumber daya pada masa itu yang masih terbatas.

Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) menghubungkan kota-kota seperti yang sekarang kita kenal, mulai dari Anyer – Serang – Tangerang – Jakarta – Bogor – Sukabumi – Cianjur – Bandung – Sumedang – Cirebon – Brebes – Tegal – Pemalang – Pekalongan – Kendal – Semarang – Demak – Kudus – Rembang – Tuban – Gresik – Surabaya – Sidoarjo – Pasuruan – Probolinggo – Panarukan.

Titik 0 km, Anyer-Panarukan

Titik 0 km Anyer, Kab. Serang, Banten

Pada saat pembangunan dimulai, ada beberapa daerah yang memakan cukup banyak korban jiwa. Korban jiwa ini disebabkan antara lain karena medannya yang susah dan karena pada saat itu warga sekitar melakukan perlawanan. Jalur Megamendung (Puncak) tercatat telah menelan hingga 500 korban jiwa karena topografinya menanjak dan harus membuka lahan baru. Sedangkan jalur Sumedang adalah jalur yang paling banyak menelan korban, tercatat kurang lebih 5000 korban jiwa melayang di sepanjang jalur ini. Pada mulanya banyak jalur yang semula merupakan hutan maupun areal perkebunan. Kemudian, ribuan pekerja bekerja sama membuka hutan dan meratakan perkebunan. Setiap jarak 30-40km, dibangun gardu pos untuk menggantikan kuda yang membawa kereta-pos. Lama-kelamaan disekitar gardu pos terbentuk desa dan kota. Jika diperhatikan, jarak antara tiap kota sepanjang Pantura sekitar 30-40km, hal ini menunjukkan bahwa memang dahulunya desa maupun kota tersebut adalah gardu pos.

Jalur Megamendung (Puncak) pada Saat Pembangunan Jalan Raya Pos

Jalur Megamendung (Puncak) telah Menelan Korban Hingga 500 Jiwa

Jalur Sumedang pada Saat Pembangunan Jalan Raya Pos

Jalur Sumedang, Jawa Barat telah Menelan Korban Hingga 5.000 Jiwa

Beberapa hari yang lalu (tepatnya Sabtu, 15 Januari 2011), saya dan seorang teman, Mas Dik, berkesempatan menelusuri sebagian ruas jalur Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) dari Kota Tangerang sampai dengan Kota Serang. Tak kurang jalur sepanjang 70km kami lalui atau 7% dari panjang total Jalan Raya Pos. Kami berdua mengendarai sepeda motor dengan kecepatan konstan kurang lebih 47km/jam, berangkat mulai pukul 9.50 WIB pagi, tiba pukul 11.25 WIB siang. Tujuan utama kami adalah survei kontrakan rumah di Serang, Banten. Kami belum pernah melalui jalur ini sebelumnya, tapi menurut nalar saya Jalan Raya Post adalah jalur tunggal sepanjang 1000km dari Anyer s.d. Panarukan. Logikanya, jalur ini akan lurus saja sepanjang Anyer-Panarukan. Berangkat dari pemikiran ini saya pede menelusur Jalan Raya Pos Tangerang-Serang.

Perjalanan kami mulai dari jembatan Sungai Cisadane, dekat Tangerang Plaza lurus menyusuri Cimone dan Jatiuwung. Selanjutnya, melalui jalur Bitung, melewati bawah jalan tol Bitung-Merak. Kami kemudian melalui Balaraja dan Cikupa. Jalur Bitung-Cikupa-Balaraja cukup padat oleh truk-truk besar -kami biasa sebut Transformer, karena ketiga daerah ini merupakan sentra industri perpabrikan di Tangerang. Selain macet, kendala di jalur ini adalah debu dan asap. Debu jalan raya dan asap kendaraan bermotor sempat membuat perjalanan kami terhambat. Saya menyarankan teman2 yang mau menyusuri jalur ini menggunakan masker penutup mulut-hidung. Segi positifnya jalur ini cukup lebar dan jalannya lumayan bagus, hanya beberapa ruas jalan sedikit sempit karena ada pasar tumpah khususnya di sekitar Cikupa.

Padat Merayap di Ruas Bitung-Cikupa-Balaraja

Padat Merayap di Ruas Bitung-Cikupa-Balaraja, Kab. Tangerang

Entry-point Menuju Kab. Serang

Entry-point Menuju Kab. Serang

Setelah keluar dari Cikupa, kami menyusuri Jalan Raya Jakarta-Serang menuju Cikande, Kab. Serang. Sebelum tiba di Cikande, kami melewati pintu tol Ciujung. Di sini, jalan menjadi macet kembali karena banyak antrian kendaraan khususnya truk-truk Transformer yang mau masuk tol. Sepanjang jalur menuju Cikande jalan menjadi sempit dan rusak. Di kanan-kiri jalan masih banyak terdapat sawah dan semak belukar khas daerah pedesaan. Seperti halnya pada ruas Bitung-Balaraja-Cikupa, ruas di Cikande juga dijejali oleh truk-truk Transformer, karena di sepanjang Jalan Raya Jakarta-Serang juga banyak pabrik-pabrik. Diantaranya yang saya ingat adalah, komplek perusahaan PT Wisma Indah Kiat yang di dalamnya minimal terdapat dua divisi yaitu Cakrawala Mega Indah [Factory] (Carton Box Divison) dan Cakrawala Mega Indah [Factory] (Pulp & Paper Division).

The Transformers

The Transformers

Pukul 11.15 WIB, kami memasuki Kota Serang. Terminal Pakupatan dan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) adalah dua tempat penting pertama yang kami lewati. Terminal Pakupatan masih seperti beberapa bulan yang lalu saya kunjungi, dipadati oleh bus antar-kota dan antar-provinsi serta jalan yang rusak. Padahal, sepengetahuan saya pengelolaan Terminal Pakupatan telah diserahkan pada Kota Serang, namun hingga saat ini tak jua kunjung ada perbaikan dan pengelolaannya masih terkesan ruwet. Kami terus menyusuri wilayah Kota Serang. Pemberhentian pertama kami di Kota Serang adalah warung ayam goreng tulang lunak. Ternyata tak hanya kami yang memilih ayam goreng tulang lunak depan KPPN Serang ini, ternyata teman2 kantor kami yang memiliki tujuan sama juga menikmati makan siang di sini.

Selepas istirahat makan siang dan sholat dhuhur kami melanjutkan perjalanan sesuai dengan tujuan utama kami, mencari kontrakan rumah di Serang. Beberapa perumahan kami kunjungi sambil tanya sana-sini siapa tahu masih ada rumah yang dikontrakkan, mulai dari Serang Hijau, Ciceri Indah, Taman Graha Asri, Komplek Permata, Permata Asri, dsb. Pukul 18.00 WIB kami sudahi pencarian ini dengan hasil nihil. Namun, sudah ada beberapa rumah yang kami incar menunggu untuk didiskusikan oleh teman2 lain yang rencananya mau se-rumah. Selepas sholat maghrib kami melanjutkan perjalanan pulang. Berbeda dengan pada saat berangkat, kami pulang menghabiskan waktu hingga 2,5 jam karena kami berjalan lebih pelan dan hati-hati mengingat jalanan yang gelap dan banyak lobang di jalan yang tak terlihat (baca: ranjau jalan). Saran saya, jika mau mengarungi jalanan Jalan Raya Pos khususnya wilayah Serang-Tangerang hindari berkendara pada malam hari. Sekian.

Sumber artikel: http://jelajahunik.blogspot.com/2010/04/sejarah-jalan-anyer-panarukan.htmlhttp://www.nederlandsindie.com/daendels-perintis-infrastruktur/.

gambar diambil dari: sini, sinilah, situ, dan sini jua

semeru st., jember, selasa 1 Februari 2011

Namanya jembatan cinta, adalah satu dari sekian banyak jembatan yang bernama jembatan cinta di Indonesia, beberapa di Jawa beberapa lagi di luar Jawa. Jembatan cinta yang saya kunjungi kali ini cukup unik, posisinya terletak di utara perairan Jakarta, tepatnya di perairan Pulau Seribu, di Pulau Tidung. Jembatan cinta ini berdimensi cukup besar dan panjang, lebar sekitar 2,5m dengan panjang hingga 2km. Jembatan ini menghubungkan Pulau Tidung Kecil yang tak berpenghuni dan Pulau Tidung Besar yang berpenghuni sekitar 5000 jiwa. Jembatan ini terbuat dari kayu dengan beton sebagai tiang pancangnya. Dahulu sebelum renovasi, jembatan ini disebut sebagai jembatan apung karena jembatan tersebut terdiri dari kayu yang mengapung di atas ratusan drum yang membentang hingga 2km jauhnya. Karena dianggap berbahaya jika terjadi pasang air laut, maka jembatan tersebut direnovasi menjadi jembatan seperti sekarang ini. Di sepanjang jembatan, terdapat dua bale-bale sebagai rest area maupun spot untuk memancing. Jika dilihat dari jauh, jembatan ini sangat eksotis, apalagi di pagi hari. Lalu kenapa disebut sebagai “Jembatan C.I.N.T.A”?

Masyarakat sekitar maupun wisatawan yang datang menyebut jembatan yang membelah Pulau Tidung Besar dan Tidung Kecil ini dengan sebutan Jembatan Cinta. Dinamakan seperti itu karena kabarnya jembatan tersebut memiliki mitos terkait dengan cinta. Informasi ini saya dapat dari seorang tour guide ketika kami (saya dan teman2) berkunjung kesana pertengahan Juli 2010. Menurut mas Mansyah, tour guide kami, konon pasangan yang berjalan di atas jembatan tersebut dan bergandengan tangan dengan pasangannya, niscaya pasangan tersebut akan langgeng dan Insya Alloh hingga ke jenjang pernikahan. Selain itu, bentuk fisik jembatan ini panjang mendatar dengan salah satu bagian jembatan agak tinggi membentuk lambang cinta (hati). Karena dua alasan itulah mungkin jembatan tersebut dikenal oleh penduduk sekitar sebagai jembatan cinta atau menurut The Bagindas Band, disebut Jembatan C.I.N.T.A 🙂

Jembatan C.I.N.T.A yg membelah Dua Pulau Tidung

Jembatan C.I.N.T.A yg membelah P. Tidung Besar dan P. Tidung Kecil

Jembatan C.I.N.T.A Lengkap dengan Fasilitas Sepeda

Pada pertengahan tahun 2010 tepatnya 17-18 Juli saya berkesempatan berlibur bersama delapan orang teman ke Pulau Tidung, Kepulauan Seribu di utara DKI Jakarta. Saya bersama delapan orang teman berangkat dari Muara Angke pada Sabtu pagi. 3 jam perjalanan dari Pelabuhan Muara Angke menuju Pelabuhan Pulau Tidung Besar dengan menumpang kapal motor yang telah disediakan oleh EO kami. Di Pulau Tidung kami menginap di rumah warga yang disewakan plus dengan fasilitas makan. Kami didampingi oleh seorang tour guide yang ramah dan menurut saya sangat lugu, namanya Mas Mansyah. Dia menceritakan semua informasi maupun sejarah tentang Pulau Tidung. Sabtu siang waktu kami dihabiskan dengan aktivitas snorkeling di seputaran Kepulauan Seribu, seperti di Pulau Beras dan Pulau Karang. Sayang diantara kami tidak ada yang membawa kamera air sehingga keindahan alam bawah laut Kepulauan Seribu tidak dapat terdokumentasikan dengan baik.

Pagi hari di hari Minggu, kami berkesempatan berkeliling Pulau Tidung Besar dengan mengendarai sepeda onthel sewaan sambil menikmati keindahan alam yang masih belum tercemar dengan efek samping teknologi. Kami juga diajak ke suatu jembatan yang indah. Ya, namanya Jembatan Cinta, jembatan yang terkenal dengan mitos kisah cinta. Sebentar kami berjalanan, kami sudah disuguhi keindahan dan keunikan jembatan ini. 300m dari ujung jembatan ada lengkungan jembatan yang cukup tinggi. Disinilah area yang pas untuk menguji nyali dengan cara ‘loncat indah’. Lengkungan ini setinggi kurang lebih 5 meter dari permukaan air laut. Laut di bawah lengkungan ini sangat bersahabat. Airnya jernih dengan pasir putih tanpa karang, sehingga apabila kita loncat dari atas tidak akan berbahaya. Namun saat itu kami tidak sempat mencoba area uji nyali itu. Selain karena air pada pagi itu begitu dingin, saya juga tidak membawa baju ganti untuk persiapan berenang (baca: bukan karena saya takut :)). Kami beruntung karena pas kami datang ada beberapa yang orang yang sedang menguji nyalinya, loncat dengan berbagai gaya, ada gaya salto, gaya memutar, gaya balik, hingga gaya batu *saya yakin pasti badannya sakit smua setelah loncat dengan gaya batu*. Oia, para wanita pun tak kalah dengan para pria loh! Mereka loncat dengan berani sambil teriak lantang. Beberapa malah ada yang nekat loncat dengan memakai long dress, wow..

Lengkungan di Jembatan Cinta dari Jauh

Lengkungan di Jembatan C.I.N.T.A dari Jauh

Jembatan Cinta dari Bawah

Lengkungan di Jembatan C.I.N.T.A dari Bawah

Cewek pun Tak Kalah Berani

Cewek pun Tak Kalah Berani

Pemandangan di Bawah Lengkungan Jembatan Cinta

Pemandangan Air di Bawah Jembatan C.I.N.T.A – luas dan jernih laksana kolam raksasa

Berjalan ke spot berikutnya di Jembatan Cinta kami menemui beberapa anak pulau yang sedang memancing. Bukan ikan yang mereka pancing tapi nus alias cumi-cumi. Cumi di Kepulauan Seribu memang terkenal dengan ukurannya yang besar dan rasanya yang mantabs. Saya memperhatikan alat pancing mereka, bukan seperti alat pancing biasa. Tidak ada joran dan tidak pakai umpan hidup. Pancing cuma memakai senar panjang dengan umpan karet berumbai yang di bawahnya ada kail untuk mengait cumi. *manusia memang jahat, cumi yg tak berdosa aja ditipu*. Sesekali anak-anak pulau itu turun ke laut mengambil kail yang nyangkut di karang. Selain pemancing cumi, ada juga beberapa orang yang memancing ikan karang. Mereka memakai joran panjang dan umpan hidup, seperti udang, cacing laut, maupun ikan kecil. Hasil yang didapat sebagian besar adalah ikan hias yang berkeliaran di atas karang, tidak besar tapi cukup indah jika dijadikan koleksi.

Anak Pulau Memancing Cumi

Anak Pulau Memancing Cumi

Cumi Hasil Tangkapan Anak Pulau

Pemancing di Sepanjang Jembatan C.I.N.T.A

Setelah kurang lebih 2km berjalan, saya sampai di ujung jembatan yang berada di Pulau Tidung Kecil. Pulau Tidung Kecil adalah pulau yang tak berpenghuni. Pulau tersebut hanya berisi vegetasi pepohonan kelapa, semak belukar, dan beberapa cemara.Di Pulau Tidung Kecil ini ada makam Wa’ Turup atau lebih dikenal dengan Panglima Hitam yang dipercayai oleh masyarakat setempat adalah orang yang pertama kali menginjakan kakinya di Pulau Tidung. Wa’ Turup sendiri kabarnya adalah seorang sakti dari Banten yang kabur ke Pulau Tidung dari kejaran Kolonial Belanda. Hingga saat ini peninggalan Panglima Hitam yaitu keris, pedang, guci, dan kendi masih tersimpan di sana. Kondisi inilah yang menyebabkan Pulau Tidung Kecil agak sedikit angker. Di Pulau Tidung Kecil kami berfoto-foto sampai puas. Pasir putih dan laut yang jernih jadi daya tarik utama Pulau Tidung Kecil ini.

Keindahan Jembatan Cinta dari Pulau Tidung Kecil

Keindahan Jembatan C.I.N.T.A dari P. Tidung Kecil

Jembatan Cinta bagi Dua Sejoli

Jembatan Cinta bagi Dua Sejoli

Akim..

Akim..

Jembatan ini Juga Cocok utk Lokasi Pengambilan Foto Pre-Wed

Jembatan ini Juga Cocok utk Lokasi Pengambilan Foto Pre-Wed

Puas berfoto2 kami lalu pulang ke home stay untuk bersiap pulang ke Tangerang. Dua hari yang melelahkan terbayar dengan keindahan alam di Pulau Tidung yang eksotis. Saya pribadi jika ada yang mengajak kesana lagi saya dengan senang hati akan menerima karena pantai dan keindahan alamnya selalu membuat hati merasa dan gembira. Oia, percaya atau tidak salah dua dari teman kami yang ikut tour ke Tidung kemarin baru saja melangsungkan pertunangan. Ternyata mitos itu tidak salah.. (selamat buat Asep dan Dede’ smoga menjadi keluarga SaMaRa nanti)

Dari Kiri Atas: Saya,Asep,Boy,Akim - Kiri Bawah: Mba Yanti,Diana,Dede',Keke,Echi

Dari Kiri Atas: Saya,Asep,Boy,Akim – Kiri Bawah: Mba Yanti,Diana,Dede’,Keke,Echi

Cheerleaders in Tidung Island

Cheerleaders in Tidung Island

kisamaun, tangerang – 4 november 2010 13.27 wib

Update: Asep dan Dede’ telah menikah dan mempunyai anak, Akim dan Echi’ pun telah menikah baru saja, Mbak Yanti dan Diana Namboru pun telah menikah. Semoga saja sisanya menyusul 🙂